Mencari Pemuda di Hari Pahlawan
Pangdam III/ Siliwangi
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
Divianews.com | Bandung — Momentum peringatan Hari Pahlawan tahun ini sepertinya tak jauh berbeda dengan ajang sama tahun sebelumnya. Upacara peringatan, tabur bunga, pawai, bakti sosial, pemberian gelar pahlawan dan sebagainya, yang sifatnya adalah seremonial peringatan hari besar. Secara formal ini perlu dan penting juga, minimal menunjukkan ke publik bahwa bangsa ini tetap ingat dengan para pendahulu yang berkorban besar untuk membentuk negara ini.
Tetapi, jauh daripada hal itu, penting sekali melihat sisi lain yang paling krusial, yaitu keterlibatan dan pengetahuan kaum muda alias kelompok milenial. Kenapa penting, karena kelompok inilah yang sekarang terbanyak, termasuk kelompok yang paling berperan dalam mengedepankan informasi tentang kepahlawanan. Mereka “menguasai” media sosial, penyebar informasi dan juga penerima informasi.
Apa sebetulnya hakekat Hari Pahlawan? Peristiwa ini diambil dari momentum penyerangan besar-besaran di Surabaya tahun 1945 silam. Sebetulnya, perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak hanya pada masa itu saja. Banyak kejadian dan peristiwa lain di berbagai daerah yang menunjukkan kegigihan dan militansi rakyat terhadap negaranya. Memang peristiwa di Surabaya memang terkenal sangat heroik dan tentu saja menimbulkan korban jiwa yang besar, termasuk di pihak Indonesia. Merekalah yang menjadi pahlawan-pahlawan, gugur demi menegakkan Merah Putih.
Hakekat dari peristiwa dan kemudian peringatan yang dilakukan adalah mengetahui dan mengenang serta menjiwai bahwa negara ini tidak dibentuk dengan biasa-biasa saja. Ada darah, ada air mata, ada jiwa, ada orang-orang yang kehilangan orang terkasihnya, demi berdirinya Indonesia, negara yang sekarang kita diami. Para pahlawan bukan sekedar berperang, tapi mereka bertempur dengan kekuatan ideologis yang kuat, keyakinan dan keinginan agar Indonesia ini tetap jaya dan tumbuh.
Andaikan ditempatkan pada konteks kondisi sekarang ini, apakah ada di antara kita yang mau melakukan itu? Rela berkorban dan mau habis-habisan untuk negara ini?
Tentu saja tantangan dan masalah yang dihadapi pada era 1940-an berbeda dengan realitas sekarang. Invasi militer dan bersenjata mungkin tidak tampak secara nyata, musuhpun tidak terlihat langsung. Tetapi yang jelas sasarannya sama, yaitu penguasaan segala yang ada di negara ini. Penjajahan seperti masa lalu, tidak ada pada kondisi sekarang, tetapi hakekat menjajah dalam arti menguasai dan mengendalikan, tetap saja ada. Tidak perlu penguasaan secara fisik dan formal, tetapi semua bisa dikendalikan. Itu sudah cukup.
Masalah masa sekarang dan masa datang adalah perang dalam penguasaan sumber daya alam, terkhusus penguasaan sumber energi. Negara-negara yang menjadi lumbung energi, bisa dipastikan akan terus digerogoti dan diperlemah. Data dari British Petroleum menyatakan tahun 2035 dunia ini membutuhkan 45% dari pemakaian energi saat ini. Cara bersenjata bisa dilakukan, cara propaganda non militer juga tidak menutup kemungkinan.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi sasaran, karena di sini semuanya ada. Sumber energi berlimpah, batubara ada dimana-mana, migas juga banyak, perkebunan tersebar jutaan hektar, lautan menyimpan kekuasaan yang luar biasa. Ke gunung berselimut emas, ke lembah bergenang minyak, ke laut menangguk ikan, kira-kira begitu.
Penting sekali menyadari bahwa ancaman masa sekarang bukan pada ancaman fisik, tapi ancaman pelemahan dengan penguasaan sumber daya alam. Karenanya, jika ingin tampil sebagai pembela negara saat ini, bukan dengan memperbesar otot, menggunakan ilmu kebal, paham senjata ataupun bisa bertempur. Tetapi orang yang bisa melakukan formula-formula membuat ketahanan masyarakat bahwa alam ini punya kita. Mungkin dengan penguatan pengolahan energi, penguasaan teknologi terapan, serta membuat berbagai inovasi untuk memperkuat basis ekonomi rakyat.
Artinya pahlawan-pahlawan saat ini adalah mereka-mereka yang berjuang sesuai bidangnya untuk mempertahankan dan memperkuat basis rakyat. Guru, nelayan, dosen, ASN, petani, termasuk mahasiswa dan pemuda, adalah pahlawan selagi orientasi mereka adalah penguatan basis negara ini, dan bukan kepentingan pribadi apalagi memperkuat kepentingan pihak asing.
Kepahlawanan sebenarnya memiliki konteks yang sama dengan masa lalu, hanya wujudnya yang berbeda. Konteksnya adalah berjuang untuk membela negara dan bangsa.
Ketika ada sosok Christoper Farel seorang anak muda dari Yogyakarta yang mampu membuat silau pada CEO Google, hakekatnya ia berjuang untuk negara. Begitupun sosok Himawan Wicaksono, peraih Absolute Winner Olimpiade Fisika Asia 2013. Juga Oki Gunawan, Ph.D lulus sebagai cumlaude dari Nanyang University, ataupun Prof Nelson Tansu seorang guru besar di usia 25 tahun dari Pensilvania State University, Prof Joni Setiawan yang menemukan 8 planet di tata surya lain, serta Chris Lesmana dengan VW Bettlenya. Semua adalah pembela negara yang berhasil menancapkan ke dunia internasional bahwa Indonesia itu mampu dan kuat.
Melihat data PD Dikti jumlah mahasiswa aktif di Indonesia saat ini mencapai 6.349.941 orang. Sungguh ini angka yang besar. Belum lagi ditambah bonus demografi, artinya penduduk usia produktif ada pada Indonesia.
Generasi muda harus punya tapakan pihak sejarah yang jelas, agar jelas menatap masa depan. Tak usah terlalu lebay dengan berharap cekokan pada pendidikan formal. Kelompok muda punya kemampuan belajar dan berusaha sendiri. Apa yang bisa dilakukan?
Jadilah orang-orang yang memenuhi kriteria minimal, yaitu orang yang mau jadi great player, pemain besar didunia ini, jadilah great dreamer, pemimpi besar yang punya angan-angan pemicu motivasi. Fokuslah pada target (focus on target), jangan banyak melenceng. Selalulah optimis, jangan mudah menyerah saat kalah. Segeralah bertindak (act now), jangan tunda ide-ide baru. Bersikaplah flexible, bangunlah jejaring atau networking yang kuat, teruslah belajar. Terpenting sekali, lakukan semuanya dengan hati nurani (doing by heart).
Idealisme itu pasti ada, tapi dibalik idealisme itu terdapat hati nurani yang tak bisa dibohongi.
Momentum Hari Pahlawan haruslah jadi otokritik bagi kita semua, khususnya pemuda dan mahasiswa. Seberapa besar sumbangsih kita bagi negara ini? Apabila masih terus dijiwai oleh rasa pesimis, rasa terabaikan, rasa ketidakadilan dan kemudian berpikir “tak akan selesai negara ini oleh saya sendiri”, maka anda sudah berada di titik terlemah. Negara ini tak butuh orang-orang seperti itu.
Apabila masih terus terlena oleh sikap hedonis, hura-hura dan apalagi budak narkoba, maka tak ada apa-apa yang bisa diraih. Negara tak butuh itu.
Di dekat anda atau mungkin anda sendiri, ada orang yang rumahnya dilanda banjir, ada orang yang jadi korban tanah longsor, ada orang-orang yang kesulitan BBM, ada orang yang terpapar narkoba, ada yang putus sekolah, ada yang sungainya tercemar, dan berbagai kepelikan hidup lainnya.
Apakah anda akan berdiam saja ataukah anda mau tampil sebagai pahlawan bagi mereka? Kreatifitas dan inovasi ada pada diri kalian semua, pada generasi muda. Selamat hari pahlawan dan menjadi pahlawan baru diseriap generasinya.
Penulis: Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
Editor: Adi Asmara