Peningkatan Collaborative Tax Compliance Melalui Cooperative Compliance
Penulis: Jennifer Louisa dan Veren Gracia, FakultasIlmuAdministrasi, Universitas Indonesia
Divianews.com | Jakarta — Isu kepatuhan pajak selalu menja ditopik yang hangat untuk dibahas. Seluruh negara di dunia senantiasa berupaya untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pajak warga negaranya, tidak terkecuali Indonesia. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kepatuhan pajak adalah dengan melihat tingkat rasio pajak.
Berdasarkan data di atas, terdapat perubahan naik dan turun tingkat rasio pajak di Indonesia. Pada tahun 2021, nilai rasio pajak di Indonesia berada pada angka 9,11%. Rendahnya rasio pajak ini juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Menurut Nurkumalasari, et al (2020) faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak adalah administrasi pajak, sanksi pajak, kualitas pelayanan, perilaku wajib pajak, dan kesadaran wajib pajak terhadap kewajiban yang perlu dipenuhi. Seluruh faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh factor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal berkenaan dengan system birokrasi kelembagaan sedangkan faktor internal berkaitan dengan pribadi wajib pajak itu sendiri. Membahas kepatuhan pajak, hal ini tidak hanya sepenuhnya menyalahi pihak wajib pajak saja, tetapi terdapat berbagai pihak yang terlibat selama prosesnya.
Tidak hanya manusia selaku wajib pajak, tetapi sistem juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dan dikembangkan kedepannya untuk mewujudkan system administrasi dan kelembagaan institus iperpajakan yang lebih kuat. Wajib pajak terkadang mengalami ketidakpastian atas penyebaran informasi terhadap kebijakan perpajakan yang telah dirilis, banyaknya perubahan kebijakan dan panduan, serta merasa terdapat kompleksitas terhadap mekanisme dan proses yang terjadi (Majdańska, 2021).
Jika dilihat dari sisi pembuat kebijakan, mereka akan senantiasa berupaya untuk memperbaiki permasalahan yang ada diiringi dengan sikap adaptif terhadap perluasan basis pajak. Dalam penerapannya, pembuat kebijakan tidak boleh memberatkan sektorpublik, bisnis, dan masyarakat.
Berangkat dari permasalahan tersebut, terdapatsolusi yang digagas oleh OECD, yaitu dengan menerapkan strategi cooperative compliance. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak melalui hubungan saling percaya dan mampumemberikan manfaat untuk kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan otoritaspajak (Maulana & Abbas, 2021). Awalnya OECD menerapkan strategi enhanced relationship, tetapi konsep ini hanya menekankan pada wajib pajak besar saja.
Saat ini, telah digagas sebuah konsep yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat kepatuhan pajak hingga lini terkecil. Faktor yang paling penting dalam konsep cooperative compliance adalah terciptanya hubungan yang transparan dan saling percaya dengan pendekatan yang lebih proaktif dan jelas.
Terdapat 3 prinsip yang perlu dikedepankan dalam penerapan cooperative complianceini (OECD, 2013).
Pertama, trust, yaitu memerlukan sikap saling percaya satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan satu dengan yang lain akan meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, karena terdapat kerelaan dalam prosesnya.
Kedua, mutual understanding, yaitu perlu sikap saling memahami khususnya pada hak dan tanggungjawab dari peran yang dipegang.
Ketiga, transparency, hal ini merupakan yang paling utama dan mendasari prinsip-prinsip yang diperlukan dalam cooperative complianceini. Untuk menciptakan sikap saling percaya dan memahami, diperlukan adanya transparansi informasi yang diberikan.
Dengan mengoptimalkan prinsip-prinsip tersebut diharapkan mampu mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak. Dalam praktiknya, tentu terdapat tantangan yang akan dihadapi untuk mencapai optimalisasi dari penerapan konsep cooperative compliance ini.
Tantangan ini berkaitan dengan syarat kebijakan yang baik, yaitu perlu mengedepankan efisiensi, demokrasi, dan refleksivitas.
Dengan diterapkannya kebijakan cooperative compliance, pemerintah perlu memastikan kebijakan yang berjalan efisien baik dari segi compliance cost, policy cost, dan administrative cost. Kemudian, perlu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan ini telah merepresentasikan keresahan public untuk diangkat sebagai solusi yang perlu dituntaskan.
Lebih lanjut lagi, pemerintah juga perlu bersikap responsive terhadap masalah lanjutan yang mungkin muncul selama penerapannya.
Untuk mengantisipasi masalah dan tantangan yang mungkin terjadi, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam lagi mengenai mekanisme untuk mewujudkan konsep cooperative compliance di Indonesia. Tidak hanya pemerintahsaja yang mengambil peran, tetapi diperlukan kolaborasi yang proaktif dari masyarakat agar konsep ini dapat berjalan secara optimal.
Dengan tingkat partisipasi yang aktif dari berbagai stakeholder ini diharapkan mampu mendorong tingkat kepercayaan masyarakat terhadap publik, ketersediaan informasi yang memadai, mekanisme pemberian kepastian, dan keterbukaan demi terciptanya kelembagaan yang lebih kuat dan penerapan cooperative compliance yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Databoks.(2022). Ini Tren Tax Ratio Indonesia dalam 5 TahunTerakhir. Diakses pada 20 Oktober 2023, darihttps://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/05/ini-tren-tax-ratio-indonesia-dalam-5-tahun-terakhir
Majdańska, A. (2021). An Analysis of Cooperative Compliance Programmes: Legal and Institutional Aspects with a Focus Application in Less Developed Countries. Amsterdam: IBFD.
Maulana, A & Abbas, Y. (2021). KeterterapanKonsep Cooperative Compliance Pada AktivitasPengawasan Wajib Pajak. Journal of Applied Business and Economic (JABE), 8(2): 208-227.
Nurkumalasari, A. D. (2020). Faktor-Faktor yang MempengaruhiKepatuhan Wajib Pajak Hotel Kota Madiun. Jurnal Akun Nabelo, 2(2): 269-283.
OECD. (2013). Cooperative Compliance: A Framework From Enhanced Relationship to Cooperative Compliance. OECD Publishing.
Tulisan ini diterbitkan di media divianews.com atas izin penulis
Editor: Adi