Divianews.com | Jakarta — Percepatan adopsi kendaraan listrik menjadi salah satu langkah strategis yang terus didorong oleh pemerintah pusat maupun daerah. Upaya ini sesuai dengan amanah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019, dalam menyikapi urgensi dari peningkatan pencemaran udara yang disebabkan oleh polusi kendaraan bermotor. Menurut laporan situs pemantau kualitas udara IQAir tahun 2023, indeks kualitas udara di Ibu Kota mencapai angka 165 AQI US. Angka ini menunjukkan Indonesia masuk dalam kategori “tidak sehat” dan menempatkan Jakarta pada posisi kedua di dunia dalam hal kualitas udara terburuk.

Percepatan adopsi kendaraan listrik sebagai sebuah upaya dalam rangka mengatasi pencemaran udara turut disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Marga Hedy Rahadian. “Dengan membangun ekosistem kendaraan listrik, kita ingin jalan kita lebih sehat dan bebas polusi. Serta mengurangi subsidi BBM yang saat ini jumlahnya besar dan bersifat impor,” ungkap Hedy Rahadian dalam keterangan resminya.

Kendaraan listrik dianggap sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang memiliki tingkat polusi tinggi. Dengan memanfaatkan energi listrik sebagai sumber daya, maka kendaraan ini tidak menghasilkan emisi gas buang langsung seperti kendaraan berbahan bakar bensin atau diesel, sehingga dapat membantu menekan polusi udara di kawasan perkotaan yang padat. Dengan diadopsinya kendaraan listrik, diharapkan masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan konvensional untuk mengurangi konsumsi BBM dan emisi karbon dioksida dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.

Oleh karenanya, kendaraan listrik kian populer dan sering kali disebut-sebut sebagai solusi ampuh untuk mengatasi krisis iklim. Namun, apakah kendaraan listrik benar-benar ramah lingkungan, atau sekadar memberi ilusi hijau?

Meskipun kendaraan listrik berpotensi mengurangi emisi karbon dari kendaraan berbahan bakar fosil, namun kenyataannya mengurangi pencemaran udara tidak cukup hanya dengan beralih ke kendaraan listrik. Pencemaran lingkungan tidak hanya disebabkan dari emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berbahan bakar fosil, sehingga kendaraan listrik tidak bisa disebut sebagai solusi yang sifatnya “silver bullet” atau solusi tunggal yang mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan dalam satu langkah. Transisi menuju penggunaan kendaraan listrik hanyalah satu dari sekian banyak upaya yang sifatnya masih terbilang superfisial dalam menghadapi tantangan lingkungan.

Mengutip dari detikOto, seorang akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu menyampaikan pandangannya mengenai pengaruh penggunaan mobil listrik bagi lingkungan. Menurutnya, mobil listrik memang lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar bensin. Mobil listrik tidak menghasilkan gas buang, dengan catatan apabila sumber energi listriknya benar.

Di samping itu, ia menambahkan pandangan lainnya yang berseberangan. “Mobil listrik sebenarnya tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Sebab, listriknya itu dari PLN yang kurang lebih 35 persennya pakai energi fosil, seperti solar dan batubara. Jadi sebenarnya enggak go green juga, kan,” ungkap Yannes dalam perbincangannya dengan detikOto.

Kendaraan listrik memiliki emisi rendah saat digunakan, namun sumber energi untuk pengisian daya perlu diperhatikan. Seperti kendaraan berbahan bakar fosil, kendaraan listrik juga berkontribusi terhadap emisi yang berpotensi memunculkan masalah lingkungan baru. Hal ini karena sebagian besar listrik di Indonesia masih dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak bumi.

Bahan baku energi sebagai ‘pembuat’ tenaga listrik yang menjadi bahan bakar dari kendaraan listrik menjadi salah satu faktor penentu bagi kelestarian lingkungan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2021, batubara dan minyak bumi menjadi bahan bakar terbanyak yang digunakan PLN untuk pembangkit listrik. Data BPS menunjukkan bahwa selama tahun tersebut, PLN memiliki lebih dari 6 ribu unit pembangkit listrik yang menggunakan berbagai bahan bakar.

Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik PLN di tahun 2021 sebanyak 3,09 juta kiloliter (kl), di mana terjadi peningkatan sebesar 15,76% dari tahun 2020 yang hanya sebanyak 2,67 juta kl. Begitu pula halnya dengan pemakaian batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik yang mengalami peningkatan sebesar 2,69%. Mulanya, pada tahun 2020 sebanyak 66,68 juta ton, kemudian meningkat menjadi 68,47 juta ton di tahun 2021.

Global Energy Monitor mencatat bahwa tambang batubara di Indonesia menghasilkan emisi metana sebesar 58 juta ton CO2e20 per tahun, yang merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global. Bahkan, gas metana tersebut memiliki kekuatan panas hingga 20 – 30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan karbon dioksida. Dampak yang dihasilkan adalah berkurangnya kadar oksigen di atmosfer bumi.

Meskipun kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang secara langsung, namun sumber energi yang digunakan untuk pengisian daya kendaraan ini masih banyak bergantung pada energi yang kurang ramah lingkungan. Dengan demikian, peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik tidak sepenuhnya menghilangkan masalah lingkungan, melainkan hanya seperti memindahkan sumber emisi, dari karbon dioksida hasil kendaraan berbahan bakar fosil menjadi emisi gas metana hasil aktivitas penambangan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Selain masalah pada bahan baku yang bersumber dari listrik, baterai kendaraan listrik juga menyumbang polusi. Misalnya, baterai lithium-ion yang digunakan pada kendaraan listrik hibrida dan plug-in, baterai berbahan nikel-logam-hidrida yang umum digunakan pada mobil hibrida, serta baterai lithium-polymer dan lithium iron phosphate yang banyak digunakan pada model kendaraan listrik terbaru. Bahan baku untuk baterai kendaraan listrik yang diperoleh melalui proses penambangan ini dalam jangka panjang dapat berdampak pada kerusakan lingkungan.

Adopsi kendaraan listrik memang memiliki potensi untuk mengurangi emisi karbon dioksida, namun manfaat ini akan optimal jika sumber listrik yang digunakan tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil. Selama listrik yang menggerakkan kendaraan listrik masih dihasilkan dari PLTU berbahan bakar fosil, maka kendaraan listrik belum sepenuhnya bebas dari dampak negatif terhadap lingkungan. Alih-alih menyelesaikan masalah polusi udara, kendaraan listrik justru berpotensi menambah permasalahan baru bagi lingkungan.

Abdul Ghofar, juru kampanye polusi dan urban dari WALHI Nasional, menyarankan agar pemerintah lebih berfokus pada pembenahan dan elektrifikasi transportasi umum, seperti TransJakarta dan moda transportasi publik di Jabodetabek. Menurut Ghofar, langkah ini lebih konkret daripada memproduksi jutaan kendaraan listrik baru atau memberikan subsidi besar-besaran untuk kendaraan pribadi. Ia mengusulkan agar subsidi tersebut dialihkan untuk meningkatkan transportasi terintegrasi hingga ke wilayah pinggiran, sehingga masyarakat lebih tertarik beralih ke moda transportasi umum. Dalam rangka mendukung hal tersebut, pemerintah juga dapat memberikan insentif kepada para pengguna transportasi umum.

Cyrillus Harinowo dalam bukunya yang berjudul “Multi-pathway for Car Electrification” berpandangan penggunaan teknologi alternatif seperti hybrid electric vehicles (HEV) dan plug-in hybrid vehicles (PHEV) dapat mengurangi emisi tanpa sepenuhnya bergantung pada infrastruktur pengisian daya yang terbatas. Selain itu, ia menilai bahwa biofuel seperti bioetanol juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Dengan demikian, langkah ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, tetapi juga memperkuat sistem transportasi publik yang lebih inklusif dan ramah lingkungan. Melalui strategi yang komprehensif dan berkelanjutan, Indonesia dapat lebih efektif dalam mengatasi masalah polusi udara sekaligus mencapai target penurunan emisi karbon.

Penulis: Aurelia Graciella Lim dan Jennifer Louisa, Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

BBC Indonesia. (2023, August 21). Polusi udara: Kendaraan listrik disebut ‘solusi palsu’ untuk perbaiki kualitas udara di Indonesia. BBC. Retrieved November 4, 2024, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51qrg47241o

Dinas Perhubungan Aceh. (2023, December 8). Kendaraan Listrik, Upaya untuk Merawat Lingkungan – Dinas Perhubungan Aceh. Dinas Perhubungan Aceh. Retrieved November 4, 2024, from https://dishub.acehprov.go.id/kendaraan-listrik-upaya-untuk-merawat-lingkungan/

Ghozali, A. (2024, March 4). Kendaraan Listrik: Fakta atau Ilusi tentang Bumi Hijau? Radius. Retrieved November 7, 2024, from https://getradius.id/news/41054-motor-listrik-ilusi-tentang-bumi-hijau-kah

Kurniawan, R. (2024, November 6). Kendaraan Listrik Bukan Satu-satunya Solusi untuk Dekarbonisasi. Kompas Otomotif. Retrieved November 7, 2024, from https://otomotif.kompas.com/read/2024/11/06/152100215/kendaraan-listrik-bukan-satu-satunya-solusi-untuk-dekarbonisasi

Nurhuda, S. F. (2022, September 14). Jangan Heran, Mobil Listrik Tak Sepenuhnya Ramah Lingkungan. detikOto. Retrieved November 6, 2024, from https://oto.detik.com/berita/d-6291307/jangan-heran-mobil-listrik-tak-sepenuhnya-ramah-lingkungan.

Editor: Adi